Kamis, 15 Februari 2018

Apa dan Mengapa Kami Memilih IVF




Bismillahhirrahmannirrahim.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

Masya Allah... lamaaa banget nggak blogging. Kangeeen banget banget sebenarnya, tapi apa daya, ada sesuatu yang sedang saya dan suami prioritaskan saat ini, jadi blogging, memasak, baking dan kegiatan rumah tangga lainnya sementara dinomorsekiankan. So, sharing resep cooking and baking-nya saya tunda dulu ya, karena memang lagi nggak aktif di dapur untuk sementara waktu, karena nggak masak, otomatis juga nggak ada yang di foto dan di share di blog, begitu juga dengan feed di Instagram. Tapi tenang, ada beberapa hasil baking dan cooking saya yang Insya Allah belum sempat di post, akan saya post bertahap. Hehehe.

Jadi sekarang mau posting apa? Sesuatu yang menjadi top priority saya dan suami selama setahun terakhir ini. Here we go...

The beginning of our story...
Sebagai pasangan suami istri yang sudah lama menikah, kehadiran buah hati tentu sangat dinanti-nantikan dalam keluarga, termasuk kami. Benar, kami belum dikaruniai seorang anak pun. Benar, saya pun belum pernah hamil sebelumnya. Alhamdulillah. Tetap Alhamdulillah, karena keadaan itu memberikan kesempatan pada kami untuk lebih bisa saling menguatkan dan bersyukur, kami bisa jalan-jalan kemanapun berdua, pacaran halal. Kami bisa jalan-jalan ke Sumatera Barat, Bukittinggi, Janjang Koto Gadang, yang nggak pernah kami bayangkan sebelumnya, kami bisa menikmati itu. Alhamdulillah. Nggak kebayang kalau seandainya saya hamil ketika kami masih berada di perantauan.

Apakah kami menundanya? Tidak. Then why? Mungkin memang belum rejeki kami dan tentu saja takdir. Kami mengira perjalanan rejeki anak untuk kami mulus-mulus saja, sama dengan pasutri kebanyakan yang langsung dikaruniai buah hati tidak lama setelah menikah. Ternyata, ujian kami jauh lebih lama, lebih berat dan penuh drama, menurut kami. Kami perlu menunggu 4.5 tahun untuk bisa menggendong bayi pertama kami. Insya Allah launching bulan Agustus 2018, mohon doanya yaaa...

Tahun pertama kami menikah, saya masih bekerja, bahkan, kami tidak pernah tinggal seatap lebih dari 6 hari selama satu tahun. Masing-masing dari kami masih bekerja, pekerjaan kami mengharuskan kami terpisah propinsi bahkan pulau. Ini kemungkinan pertama yang kami simpulkan sebagai penyebab belum hadirnya buah hati kami. Mungkin, kami terlalu sering memfokuskan diri pada urusan pekerjaan kami masing-masing, mungkin kami selalu melewatkan masa subur kami setiap kali berhubungan, mungkin juga kami terlalu lelah, mungkin, mungkin, dan kemungkinan lainnya yang kami anggap wajar saja di tahun-tahun awal pernikahan kami.

Sampai akhirnya kami memutuskan untuk konsultasi ke dokter. Inipun tidak berjalan mulus. Nggak mudah memang menemukan dokter yang mau mendengarkan, menolong dan nggak cuma mengandalkan obat. Alhamdulillah. Saat itu kami dipertemukan dengan dokter wanita yang cukup terkenal di Madiun, Jawa Timur, kota kelahiran kami, dr. Susanti Mintarsih, SpOG. Menurut mertua saya, dokter Santi, panggilannya, mungkin ‘mau menolong’, nggak cuma acuh sambil memberi resep. Alhamdulillah, benar saja, ketika kami konsultasi, beliau sangat terbuka dengan kami sehingga kami sangat nyaman konsultasi dengan beliau. Insya Allah lahiran nanti rencana mau ke dr. Santi lagi. Mohon doanya ya teman-teman...

Our Problem is...
Dengan dokter Santi, saya menjalani USG abdomen dimasa subur dan masa haid, USG transvaginal dan dirujuk untuk HSG ke dr. Niken. Sementara suami saya harus menjalani tes sperma di lab untuk melihat kualitas spermanya. Dari berbagai tes organ kesuburan itu akhirnya diperoleh kesimpulan bahwa saya memiliki mioma berukuran 2.4 cm dan saluran tuba falopii saya yang kiri menyempit, tetapi tidak buntu. Sementara suami saya menderita Teratozoospermia. Teratospermiaor teratozoospermia is a condition characterized by the presence of sperm with abnormal morphology that affects fertility in males. Dokter Santi tidak melakukan perawatan lebih lanjut untuk kami. Menurut kesimpulan beliau, status kesuburan kami berada di tengah-tengah, tidak bisa dikatakan subur banget ataupun tidak subur sama sekali, karena permasalahan kami dianggap hanya sebagian-sebagian saja, masih ringan. Hanya saja, suami saya diminta untuk konsultasi ke dokter spesialis Andrologi untuk mengetahui dan menjalani perawatan lebih lanjut. Nah, bagaimana dengan Mioma saya? Dokter Santi tidak menyarankan untuk mengoperasi atau mengambil mioma saya, karena dianggap tidak berbahaya, apalagi saya belum pernah hamil. Memaksakan operasi malah akan merubah kondisi alami rahim. Begitu pula dengan kondisi tuba falopii saya yang menyempit. Tidak perlu dilakukan tindakan khusus, karena dianggap masih bisa berfungsi dengan baik. Alhamdulillah.

Tahun berganti, saya memutuskan untuk resign dan mengekor kemanapun suami saya ditugaskan. Kami pun semakin merindukan kehadiran buah hati di keluarga kecil kami. Sambil terus berusaha dan berdoa semampu kami, kami pun sempat mencoba beberapa perawatan alternatif dan tentu saja mencari dokter spesialis Andrologi untuk suami saya, yang tidak bisa ditemui di kota kecil seperti Madiun, harus ke kota besar dan rumah sakit besar setidaknya.

Alternatif apa yang saya lakukan? Saya pernah pijat rahim atau perut yang katanya bisa membenarkan posisi rahim saya, yang kata si ibu tukang pijat mungkin jadi penyebab utama kami belum dikaruniai buah hati. Sakit? Banget. Seingat saya, saya hampir tidak bisa beraktivitas normal selama lebih dari seminggu. Seharusnya pemijatan dilakukan tiga sampai empat kali pijat setelah haid, tapi saya tidak mampu menahan sakitnya. Hanya sekali saja dan kemudian kapok. Hehehe. Selain itu, untuk menunjang pengobatan, saya diharuskan minum sari akar pohon jeruk nipis yang direbus dengan sedikit air. Masya Allah pahitnya minta ampuuun... dan nggak mampu minum karena pahit banget, padahal nyarinya susah banget.

Our Last Hope...
Pindah ke Jakarta, kami mulai merencanakan untuk mengikuti program lagi. Harapan kami, dengan kepindahan tugas suami saya, ada kemudahan akses untuk ke rumah sakit. Akses yang kami maksud adalah tentu karena kami percaya Jakarta memiliki banyak rumah sakit besar, dokter-dokter yang jauh lebih hebat dan teknologi medis paling mutakhir dibanding rumash sakit serupa di daerah, secara Jakarta adalah pusat pemerintahan Indonesia dan segala sesuatunya dimulai dari sini.
Kali ini kami berencana untuk mengikuti program bayi tabung (IVF).

Q & A
Apa itu IVF?
IVF (In Vitro Fertilitation) atau Bayi Tabung adalah suatu proses pembuahan sel telur oleh sperma di luar tubuh si wanita: in vitro (di dalam gelas kaca). Proses ini melibatkan proses ovulasi seorang wanita, mengambil suatu ovum atau sel-sel telur dari ovarium (indung telur) wanita dan membiarkan sperma membuahi sel-sel tersebut di dalam sebuah medium cair di laboratorium. Sel telur yang telah dibuahi (zigot) dikultur selama 2-6 hari di dalam sebuah medium pertumbuhan kemudian dipindahkan ke rahim wanita dengan tujuan menciptakan keberhasilan kehamilan. Secara definisi begitu ya. Kalau secara gampangnya, menurut sepemahaman saya, sperma pria dan sel telur wanita diambil dari dalam tubuh kemudian di pertemukan (dikawinkan) di luar tubuh yaitu melalui media tertentu di laboratorium, di biarkan berkembang sampai hari ke-3 atau ke-5 kemudian baru dimasukkan kembali ke dalam rahim wanita. 

Image Source

Mengapa kami memilih IVF?
Selain karena permasalahan kesuburan kami, tentu saja karena IVF menjadi harapan kami satu-satunya setelah berbagai usaha medis dan non-medis yang telah kami lalui tidak membuahkan hasil. Menurut kami, IVF adalah usaha fisik kami yang paling tinggi, paling maksimal untuk merayu Allah subhanahu wa ta’ala agar mengkaruniakan buah hati untuk kami, mengingat biayanya yang sangat mahal bagi kami.

Mengapa kami tidak mencoba IUI atau inseminasi dulu yang dari segi biaya tentu jauh lebih murah jika dibandingkan dengan biaya IVF?
Menurut sepengetahuan kami, kami merasa teknologi IUI atau Inseminasi tidak jauh berbeda dengan berhubungan pasutri secara normal. Karena IUI hanya mendekatkan sperma untuk membuahi ovum (sel telur) dengan sendirinya. Sementara, gangguan sperma yang dimiliki suami saya bukan karena pergerakannya ataupun kekuatan jarak ejakulasinya yang bermasalah. Jadi kami mantap memilih IVF sebagai jalan ikhtiar kami untuk menjemput buah hati kami. Dalam hal kesempatan hamil, kami menganggap IVF memiliki kesempatan lebih tinggi, karena pemindahan kembali ke dalam rahim wanita sudah dalam bentuk zigot atau hasil perkawinan sperma dan sel telur (ovum).

Waaahh, tahu-tahu sudah sebegitu panjang yaaa, nafas duluuu. Padahal masih permulaan banget, baru sharing soal what n’ why, permasalahan kesuburan dan alasan kami memilih jalan ini. Banyaak banget cara untuk hamil selain hamil normal. Mungkin pasangan A bisa hamil dengan cara pertama, pasangan B bisa hamil dengan cara kedua, pasangan C bisa hamil dengan cara ketiga, mana saja oke, mana saja boleh dicoba. Yang tidak boleh disamakan adalah HASILNYA, mungkin pasangan B sudah mencoba cara pertama, tapi rejekinya, takdir Allah swt menghendaki di cara kedua. Jangan salahkan yang memberi saran untuk mencoba cara untuk hamil, karena mereka hanya mencoba membantu. Yang paling tahu apa permasalahannya adalah pasutri sendiri, apa saja yang sudah dialami dan ikhtiar apa saja yang sudah dilalui, hanya pasutri sendiri yang tahu dan paham. Jadi jangan pernah menyalahkan dan menyamakan. Semua ada waktu dan jalannya masing-masing. yang penting tetap semangat dan jangan menyerah.

Image source

Next, saya akan sharing soal persiapan kami menjalani IVF, see u to the next post...



Salam,

Lisa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar