Rabu, 29 Maret 2017

Mengenal Dasar Food Photography dengan Dapur Hangus



Bismillahhirrahmannirrahim.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

Saya sudah bisa motret. Tapi cuma sekedar motret sih, itupun biasanya ya pakai HP aka smartphone, belum ada niat buat belajar motret pakai kamera. Selain harganya yang nggak terjangkau kantong saya, rasanya belum dimungkinkan untuk memilikinya dalam waktu dekat. Lagian, saya pikir untuk hobi baru saya yang satu ini, sepertinya hanya memerlukan smartphone berkamera oke dan berkapasitas besar, hehehe.

Styling? Sudah lebih mendingan sih, dengan bantuan prop yang sudah semakin menumpuk dan tentu hasrat menumpuk prop yang belum padam, alias masih pengen ini itu. Hehehe. Saya pikir, inilah efek sampingnya belajar motret, memiliki hasrat luar biasa buat ‘mengumpulkan’ apa saja yang bisa dipakai sebagai prop.

Ilmu photography? Masih cetek. Hasil belajar dari ikutan workshop-workshop sebelumnya. Yang kadang-kadang terpakai, tapi lebih banyakan khilafnya. Atau ‘nggak ngeh’ kalau ada aturan ini dan itu, ada rules yang nggak sengaja dilanggar karenga nggak ‘sadar’ kalau ada aturannya, tapi yang lebih sering adalah tentang istilah, istilah photography maksudnya. Istilahnya atau definisinya aja kadang nggak paham, bahkan mendengar aja belum tentu pernah, jadi yaaa gitu deh... Asal menurut saya oke aja, selesai. Hahaha.

Nah, biar saya nggak semakin tersesat semakin dalam, saya rajin banget ikutan workshop dan challenge, biar semakin mahir dan fasih dengan segala rules dan aturan-aturan photography. So, workshop mana lagi yang akan jadi sasaran saya? Ada. Dan Alhamdulillah-nya saya sudah pernah ketemu dengan narasumbernya. Siapa? Mb Ika Rahma, si pemilik account ig Dapur Hangus. Kalau baca perjalanan workshop yang saya ikuti, pasti tahu deh yang mana. Kalau belum, boleh sok dibaca dulu #EmpoweringMAMAbersama Emeno Nursing Wear *maksa ini harus!!!

Workshop yang saya ikuti ini adalah workshop yang diadakan dalam rangka Ulang Tahun Dapur Hangus yang ke-5. Account Dapur Hangus di Facebook sudah berusia 5 tahun per tanggal 15 Maret kemarin. Nah, menurut cerita dari si empunya, Mb Ika Rahma, Dapur Hangus berawal dari kenekatannya membuat blog masakan. Mengapa dinamakan Dapur Hangus? Karena beliau bukan chef, koki atau pun tukang masak. Beliau yang ngakunya nggak suka dan nggak bisa masak ini nekat bikin blog masakan. Menurutnya, karena beliau nggak bisa masak, setidaknya, beliau bisa mempertahankan pembaca blognya kalau memiliki foto yang keren. Selain itu, kenekatannya juga didasari atas kebutuhan memasak untuk putri pertamanya yang saat itu akan memasuki tahap MPASI, jadi mau nggak mau, beliau pun belajar memasak.

Begitulah, tujuan awal dibuatnya Dapur Hangus yang sekarang sudah melebarkan sayapnya sebagai endorser, food photographer dan narasumber food photography melalui berbagai workshop. Nah, seperti Dapur Hangus yang memiliki tujuan awal yang unik, menurut Mb Ika Rahma, setiap hal yang kita lakukan pasti memiliki tujuan, begitu juga dengan memotret. Harapannya dengan adanya tujuan yang jelas, maka memotret pun akan menjadi lebih terarah. Ada banyak sekali tujuan memotret, diantaranya untuk tujuan promosi produk makanan buatan kita sendiri, review, pembuatan buku menu, pembuatan katalog jualan, pembuatan banner, untuk update socmed, sebagai portofolio personal, bahan pembelajaran, dll. Diantara sekian banyaknya tujuan memotret, pastikan untuk menentukan tujuan memotret terlebih dahulu sehingga gambar yang dihasilkan akan lebih bermakna.

Sebagai pengguna smartphone untuk fotografi, Mb Ika Rahma menyarankan untuk mulai memperhatikan adanya distorsi pada hasil foto kita. Apa itu? Distorsi adalah penyimpangan lensa yang biasa terjadi pada kamera smartphone, sehingga akan terjadi selisih ukuran benda pada foto dengan ukuran aktualnya. Benda pada foto yang dihasilkan melalui kamera smartphone akan mengalami penyusutan ukuran, menjadi lebih kecil dari ukuran sebenarnya. Sehingga perlu memperlebar jarak saat memotret untuk mengurangi timbulnya distorsi. Jadi, kita perlu memotret dari jarak yang agak jauh, tidak terlalu dekat dengan benda. Distorsi ini terjadi secara umum ya, artinya semua hasil foto yang dihasilkan melalui kamera smartphone akan terkena efek ini. Smartphone jenis apapun. Bagi Mb Ika Rahma sendiri yang kebanyakan menggunakan kamera, beliau akan langsung tahu dan bisa membedakan, ada atau tidaknya efek distorsi yang ditimbulkan dari sebuah foto. Saya nih, baru ‘ngeh’ kalau ada hal semacam ini, langsung atur jarak! Siap graaak!!!

Contoh Distorsi: chococips dalam wadah kuning di foto kiri

Menurut Mb Ika Rahma, Lighting untuk Food Photography sedikit berbeda dengan fotografi model. Food photography menggunakan sumber cahaya dari belakang dan dari samping saja. Jika sumber cahaya berasal dari depan, maka makanan akan terlihat flat dan tidak berdimensi. Cahaya dari depan juga dapat menghilangkan tekstur makanan, padahal justru teksturlah yang ingin dimunculkan agar makanan terlihat lezat dan menggiurkan.

Tips lain tentang lighting adalah jangan lupa mematikan flash, baik ketika memotret dengan menggunakan smartphone ataupun kamera. Jika terpaksa atau diharuskan memotret saat malam hari, usahakan untuk mematikan lampu ruangan, karena pantulan lampu ke tembok akan mengganggu hasil foto kita. Nah, sebagai pengganti lampu ruangan, gunakan sumber cahaya dari lampu belajar, lampu emergency atau lampu senter smartphone. Usahakan lampu yang digunakan adalah lampu LED putih 4 Watt jika menggunakan lampu belajar.

Yang nggak kalah penting adalah jangan pernah menghilangkan bayangan benda yang akan difoto. Semua benda yang difoto harus ada bayangannya, walaupun tipis atau samar, tetapi harus tetap ada, agar benda terlihat lebih aktual atau nyata. Bayangan benda akan membantu mempertegas Point of Interest dari foto yang dihasilkan. Masak iya makanan nggak ada bayangannya?

Yuukk, lanjuutt...

Ternyata, pemilihan background itu nggak kalah penting juga lho... Pemilihan warna background bisa tetap ataupun berubah-ubah, tergantung dari tujuan dan tema foto yang ingin dihasilkan. Background tetap ternyata bisa memberikan arti untuk branding identitas. Jadi, bisa langsung ketahuan tanpa harus melihat credit tittle. Mostly, saya menggunakan background warna papan rustic hitam, karena saya merasa lebih bisa menguasai editing dan styling dengan background hitam. Sementara masih menghindari background warna terang karena merasa nggak PD, rasanya hasil foto saya jadi kurang fotogenik kalau memakai background putih.

Untuk angle atau sudut pengambilan gambar sudah sering saya bahas di postingan-postingan workshop yang saya ikuti sebelumnya. Biar tambah nempel merekat kuat di ingatan, yuk diomongin lagi...

Eye Level adalah sudut pengambilan gambar ketika kamera dan benda berada dalam garis sejajar. Angle ini digunakan apabila kita ingin mengekspos tinggi makanan yang kita foto. Misalnya, cake bertumpuk, segelas besar Milo Dinosaurus atau souffle yang mengembang tinggi.

Above Eye Level (30’-40’) adalah sudut pengambilan gambar sedikit lebih tinggi dan lebih miring dari Eye Level sebesar 30’-40’. Angle foto ini cocok untuk hampir semua jenis makanan. Bila makanan diletakkan di piring, volumenya akan bisa terkekspos maksimal. Dengan menggunakan angle ini, memotret latte art pada kopi dapat memungkinkan kita untuk mengekspos dua hal, yaitu keindahan latte art dan sekaligus meng-capture seberapa besar mug yang digunakan.

Bird Eye View adalah sudut pengambilan gambar dari atas dengan kamera mengadap ke bawah. Angle Bird Eye View inilah yang melahirkan tren foto flatlay, yang mengatur berbagai macam properti foto di permukaan atau bidang datar, lalu memotretnya dari atas. Makanan yang cocok untuk angle ini misalnya adalah Pizza, topping yang beragam, irisannya yang membentuk segitiga dan keju mozzarellanya yang mulur-mulur membuat Pizza dapat terekspos secara maksimal. Contoh lain yang cocok untuk penggunakan angle ini adalah cup cake dengan hiasan fondant dua dimensi atau pie yang dipotong pun cocok untuk difoto dengan angle ini.

Below Eye Level (Angle Mata Kodok) adalah sudut pengambilan gambar dengan posisi kamera agak ke bawah benda sehingga foto yang dihasilkan akan tampak lebih tinggi, atau menimbulkan kesan tinggi. Misalnya adalah minuman dalam gelas sehingga akan terekspos gelas yang terlihat atau terkesan lebih tinggi.
Saya suka yang mana? Bird Eye View (BEV) dong... Rasa-rasanya lebih kelihatan unik aja. Saya pun bercita-cita untuk belajar Messy Food Photography, meski berantakan tapi tetap fotogenik. Motretnya sih seneng, beresinnya yang senep. Gara-gara saking berantakannya. Hehehe.

Bagaimana? Semoga dapet ilmu baru yaa...

Maunya sih dilanjut terus, karena materinya masih lumayan panjang. Tapi, takutnya malah jadi super panjang, kan nggak enak juga sayanya kalau nanti saya dapet penghargaan pembuat blogpost terpanjang, hehehe. Jadi, napas dulu aje kali yee... Biar nggak begah...

Oke, oke, semoga bermanfaat ^^

Mb Ika Rahma, the woman behind @dapurhangus

Stand Bazar Dapur Hangus yg bikin nggak konsen nyimak materi :D




Salam,



Lisa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar