Jumat, 31 Maret 2017

Dasar Food Photography with Dapur Hangus II



Bismillahhirrahmannirrahim.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

Sudah siap belajar lagi?? Hayuuklah langsung ajaa...

Melanjutkan review materi hasil workshop Dasar Food Photography dengan Dapur Hangus. Masih semangat kan ya? Karena bahasannya yang kedua ini agak berat, tapi tetep menarik, buat saya sih, nggak tahu kalau situ, hehe.

Yang belum sempet baca Part I, boleh jalan-jalan dulu deh, ke Mengenal Dasar Food Photography dengan DapurHangus, biar ingatan makin seger, dan ilmu merekat kuat kayak perangko ketemu amplop.

Kalau sudah, yuukk dilanjut...

Rule of Third adalah garis imajiner yang membantu membagi frame foto menjadi sembilan bagian sama besar, dengan menarik dua garis sejajar secara horisontal dan vertikal. Aturan komposisi ini menjadi dasar bagi keseimbangan elemen foto sehingga foto lebih enak dipandang dan memberikan kita kesempatan untuk dapat menikmati sebuah foto.

Rule of Third
Empat titik yang terletak di sudut-sudut kotak bagian tengah (kotak ke-5) disebut sebagai empat titik mata. Jika kita menempatkan Point of Interest (POI) atau bagian paling menarik dari sebuah foto atau objek yang ingin kita tonjolkan dalam foto kita di salah satu titik tersebut, maka secara keseluruhan foto akan menjadi lebih enak dilihat karena sejalan dengan cara mata kita melihat benda. Nah, garis imajiner ini sudah built-in yah, bisa kita munculkan atau hilangkan dari smartphone atau kamera kita, tergantung bagaimana kita menggunakannya. Cara memunculkannya adalah dengan membuka setting kamera pada menu setting dan kemudian klik show gridlines/ show guideline/ display grid lines/ tampilan garis kisi diaktifkan. Maka akan muncul grid yang dapat membantu kita mengkomposisikan benda yang kita foto agar terlihat seimbang.

Untuk perihal Styling, Mb Ika Rahma menyarankan untuk bermain dengan berbagai bentuk (bulat, lonjong, bujur sangkar, dll) dan memanfaatkan levelling dengan baik. Maksud dari Levelling disini adalah pemanfaatan berbagai ukuran benda, besar dan kecil ke dalam styling kita, baik untuk benda yang menjadi objek foto maupun properti yang digunakan. Levelling ini berguna untuk menambah tingkat fotogenik dari foto yang dihasilkan. Apalagi kalau yang diinginkan adalah styling flatlay dengan angle BEV, maka leveling akan menjadikan foto yang kita hasilkan menjadi lebih menarik.

Menurut Mb Ika Rahma, terdapat dua jenis Food Photography:
  • Editorial Food Photography: Food Photography suka-suka kita, misalnya untuk di posting di socmed, bersifat bebas dan natural, pokoknya suka-suka kitalah.
  • Advertorial Food Photography: Food Photography untuk keperluan iklan.
Dalam hal Styling, kita perlu banget memperhatikan komposisi dari benda-benda yang kita susun agar gambar yang dihasilkan menjadi lebih menarik, sesuai dengan apa yang ingin kita sampaikan atau tampilkan.

Beberapa Komposisi Fotografi yang bisa dijadikan sebagai acuan styling:

  • Segitiga. Kita dapat menyusun benda atau makanan dalam pola segitiga, dimana pola ini bersifat mengunci mata kita untuk fokus pada benda yang dibentuk dari pola tersebut, sehingga tampilan yang dihasilkan menjadi lebih menarik. Misalnya kita bisa meletakkan cake dengan ukuran besar dan dua slice hasil potongannya yang diletakkan di piring saji kecil di dekatnya.
  • Kurva ‘S’. Komposisi ini dapat ditemukan pada segala sesuatu yang berbentuk seperti huruf ‘S’. Komposisi ini bisa diterapkan juga pada benda-benda yang tidak berbentuk huruf ‘S’. Misalnya kita dapat menyusun dan mengatur makanan yang akan kita foto beserta dengan propertinya membentuk pola huruf ‘S’. Tujuannya, agar foto tidak terlihat monoton, apalagi jika bendanya sama dan dalam jumlah banyak. Kura S ini membantu foto agar terlihat lebih dinamis dan menciptakan irama pada benda yang terletak di ujungnya.
  • Diagonal. Komposisi ini dapat ditunjukkan oleh properti yang berbentuk memanjang, menunjukkan apa yang ada di ujung benda, secara diagonal. Misalnya, peletakan sumpit makan sebagai properti untuk menunjukkan makanan yang terletak di ujung sumpit.
  • Pola/ Pattern. Pola yang dimaksud disini adalah bebas namun bersifat repetitif atau pengulangan. Jadi kita bisa meletakkan apa yang menjadi Point of Interest foto kita pada dua atau lebih titik ROI, sehingga tercipta pola pengulangan yang mempertegas bahwa inilah sesuatu yang ingin kita tonjolkan dari foto kita.

Komposisi Fotografi
Agak berat ya, saya pun juga agak belibet, antara bingung dan lupa-lupa inget bagaimana sebenarnya. Jadi mohon bimbinganyaaa... Maafkan kalau materi yang ini nggak banyak membantu belajar atau malah jadi menyesatkan. Hehehe. *sepertinya saya perlu lebih banyak belajar soal ini.

Last, mari kita rangkum apa yang mesti kita lakukan sebelum mulai memotret.

Before Capture:

  • Tentukan tujuan memotret terlebih dahulu.
  • Carilah spot foto dengan lighting yang pas.
  • Gunakan alas foto yang cukup lebar agar leluasa dalam memotret.
  • Tentukan konsep dan tema foto.
  • Siapkan properti yang sesuai dengan konsep dan tema foto.
  • Pastikan foto sudah bagus ketika di-capture sehingga waktu memotret lebih cepat, proses editing juga menjadi lebih mudah.


Styling Tips

  • Bermainlah dengan berbagai bentuk (bulat, lonjong, bujur sangkar, dll).
  • Manfaatkan levelling (perbedaan ukuran makanan dan properti).
  • Gunakan bayangan untuk mempertegas point of interest.
  • Tambahkan sesuatu yang hidup.


Tips paliiing terakhir, pastikan segala sesuatunya sudah bagus sebelum kita memencet tombol shutter. Mulai dengan memilih properti yang sesuai dengan konsep dan tema yang kita inginkan. Kemudian memilih makanan dengan bentuk yang paling sempurna dan paling bagus untuk difoto. Jika membuat makanan sendiri, pastikan memotret makanan ketika makanan tersebut berada dalam performa terbaiknya, misalnya kue sus, kelihatan paling montok sesaat setelah keluar dari oven. Atau masakan berkuah santan, terlihat paling oke sesaat setelah matang, sebelum santan terpecah.

Bagaimana? Semoga dapat ilmu baru ya ^^

Yuuk, lanjut motret lagiihh...

Milk Bath Cake by @twinniesmenu

Korean Molten Cheese Tart by @dapurmamita




Salam,



Lisa.

Kamis, 30 Maret 2017

Green tea Japanese Cotton Cheesecake (Gluten Free)



Bismillahhirrahmannirrahim.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

Punya cream cheese nganggur yang hampir kadaluarsa di kulkas kok ya bisa bikin galau tiap buka kulkas. Pengen cepet-cepet ngeluarin tapi kok ya mati gaya kalau urusan keju begini. Maklum, saya nggak suka keju yang nggak matang atau lembek selain Keju Mozarella. Niat bikin, sayang kalau nggak dipake, akhirnya searching di berbagai sumber dari blogger-blogger idola, youtube dan segala macam tutorial masak-lah intinya. Akhirnya nemu resep Cheesecake yang nggak memakai banyak cream cheese.

Kilas balik sebentar, dulu pas masih jaman tinggal di Duri, Riau, saya pernah diajakin bikin Cheesecake oleh salah satu sahabat saya yang emang hobiii banget sama yang namanya Cheesecake. Awalnya sih saya penasaran, kayak apa sih si Cheesecake ini yang membuat sahabat saya ini tergila-gila sama cake yang satu ini. Saya pun manut apa kata dia, bikin Cheesecake yang fenomenal. Tapi ternyata gagal, hehehe, penyebabnya adalah loyang alasnya yang bocor sehingga air cepet banget habis, walhasil oven pun dibuka tutup entah berapa puluh kali, jadi cake-nya pun nggak matang-matang. Setelah matang dan dicoba pun rasanya ternyata ‘ngeju’ banget yang ternyata saya nggak suka. Sementara sahabat saya cintaaanya luar biasa sama cake ini, dan dia semakin bahagia ketika saya memutuskan untuk membawa sedikit saja karena masalah selera dan lidah. Itu kenangan saya tentang pertama kali bikin Cheesecake.

Nah, sekarang, dengan modal Bismillahhirrahmannirrahim nekat, saya nekat bikin sendiri, dikasih bubuk Green tea, dengan harapan aroma keju dan rasa ‘ngeju’-nya sedikit tersamarkan.



Green tea Japanese Cotton Cheesecake (Gluten Free)
Source: Epipastry dan Mb @ayudiahrespatih

Bahan A (pasta):
125 gr cream cheese
40 gr minyak goreng
30 gr gula

60 gr susu cair full cream
3 kuning telur
1 sdt air perasan jeruk nipis
30 gr maizena

Bahan B:
3 putih telur
1 sdt air perasan jeruk nipis
50 gr gula pasir

1 sdm green tea, seduh dengan air panas hingga berbentuk seperti pasta

Cara Membuat:
  • Masak dengan cara di tim (double boiler) campuran cream cheese, minyak goreng dan gula, sampai leleh dan tercampur rata, aduk dengan menggunakan whisker. Angkat dari kompor.
  • Masukkan kuning telur satu per satu, kemudian masukkan susu cair, air jeruk nipis dan tepung maizena. Aduk hingga rata, sisihkan.
  • Kocok putih telur dan air jeruk nipis sampai mulai berbusa, masukkan gula pasir 3 kali secara bertahap sambil terus dikocok sampai mengembang soft peak, jika mixer diangkat akan menimbulkan jambul melengkung pada adonan.
  • Masukkan adonan putih telur ke dalam adonan kuning telur secara bertahap 3-4 kali sambil diaduk dengan menggunakan spatula dengan teknik aduk lipat (folding).
  • Masukkan campuran adonan kuning telur dan putih telur ke dalam wadah kocokan putih telur, aduk kembali dengan menggunakan spatula dengan teknik aduk lipat (folding) hingga tercampur rata.
  • Bagi adonan menjadi dua bagian, beri salah satu bagian adonan dengan pasta green tea. Aduk rata.
  • Siapkan loyang teflon atau loyang tanpa sambungan yang telah dioles margarin dan ditaburi tepung maizena tipis-tipis.
  • Tuang adonan selang seling dengan menggunakan sendok sayur. Hentakkan beberapa kali untuk mengurangi gelembung udara yang terbentuk dari proses mengaduk.
  • Panggang dengan sistem Au Bain Marie (Loyang adonan dialasi loyang lain yang berukuran lebih besar dan diisi air setinggi 1.5 cm).
  • Panggang dengan suhu 150’ selama 60 menit atau hingga matang. Lakukan tes tusuk dan tes sentuh.
  • Keluarkan dari oven, dinginkan diatas cooling rack, potong-potong, siap disajikan.

Judulnya panjang banget? Iyah, aslinya begono, hehehe. In Sya Allah prosesnya nggak panjang dan mudah banget diikutin. Resep aslinya saya adaptasi dari Epipastry ya, bisa cek videonya di Youtube. Tapi saya sempat belajar juga dari post-nya mb @ayudiahrespatih. Ada sedikit perbedaan dengan hasilnya mb Ayu. Saya lebih prefer dan mengacu ke Epipastry dengan beberapa adjusment sesuai dengan kondisi bahan dan kemampuan saya. Bebas sih, toh kita belajar masing-masing, saya pun belajar sendiri, otodidak, jadi ya, pengalaman saya dan pengalaman orang lain adalah guru terbaik.

Untuk cream cheese-nya saya pakai cream cheese yang memang dipakai untuk membuat cheesecake ya, karena ternyata ada beberapa macam cream cheese yang biasa dipakai untuk membuat cheesecake. Saya pun baru tahu, hehehe. Kebetulan cream cheese yang saya punya memang sesuai dengan resepnya. Saya memakai cream cheese dari keju segar yang berjenis Neufchatel cream cheese. Alhamdulillah bener belinya. Maklum, saya pun juga baru belajar. Dari FAQ NCC dengan bu Fatmah, disarankan untuk memakai jenis cream cheese ini jika ingin membuat cheesecake. Nah, mb Ayu punyanya cheese spread jadi beliau pakai itu, berhasil, hanya saja pada prosesnya perlu disaring karena terlalu bergerindil katanya, tidak bisa langsung lembut dengan sendirinya saat di tim (double boiler). Sementara saya yang memakai Neufchatel cream cheese baik-baik saja, gampang banget lembutnya. Dari FAQ NCC juga, Bu Fatmah menyarankan kalau bisa jangan memakai light cream cheese untuk membuat cheesecake karena hasil cake-nya akan terlalu asam dan cair. Nah, bentuknya cheese spread dan light cream cheese kayak apa? Saya pun gelap, entah apa itu, mungkin nih ya, mungkin, ada tulisannya di labelnya. Kalau nggak ada tulisannya ya Bismillah aja bener, hehehe.

Untuk proses mencampur adonan putih telur ke adonan kuning telur atau pasta, saya memakai teknik aduk lipat (folding). Saya berpikir, mungkin penyebab pori-pori dari hasil cake-nya Mb Ayu besar-besar karena terlalu banyak udara masuk ke adonan saat proses mencampur dan mengaduk ini. Walaupun di Epipastry di aduk pakai whisker juga sih. Tapi saya nekat, pakai teknik folding, dengan harapan siapa tahu hasilnya akan lebih mulus. Dan benar, hasilnya lebih mulus, Alhamdulillah.

Satu lagi yang saya ubah dari proses baking Epipastry, seharusnya, adonan dituang berselang-seling 2-3 sdm per sekali tuang. Nah saya pakai sendok sayur, 2-3 sdm kan beda-beda tipis sama 1 sendok sayur kan? Jadi lebih efisien sih, hehehe. Gitu doang, hehehe...

Hasilnya? Alhamdulillah, mulus, pori-pori halus, lembab, nyes-nyes, ilang-ilang aja di mulut, nggak perlu ngunyah. Enyaaakk... cake-nya masih ‘ngeju’ banget ya, aromanya keju jadi bercampur dengan aroma green tea-nya jadi wangiii. Yang suka cheesecake dan green tea wajib banget bikin ini.
O iya, maafkan ngirisnya yang nggak mulus, si cake ini joged-joged dan goyang-goyang melulu pas mau diiris, saya kan jadi grogi juga kalau kayak gini. Yang penting rasanya ‘superb’...

Semoga bermanfaat ya...




Happy Baking ^^


Salam,


Lisa.

Rabu, 29 Maret 2017

Mengenal Dasar Food Photography dengan Dapur Hangus



Bismillahhirrahmannirrahim.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

Saya sudah bisa motret. Tapi cuma sekedar motret sih, itupun biasanya ya pakai HP aka smartphone, belum ada niat buat belajar motret pakai kamera. Selain harganya yang nggak terjangkau kantong saya, rasanya belum dimungkinkan untuk memilikinya dalam waktu dekat. Lagian, saya pikir untuk hobi baru saya yang satu ini, sepertinya hanya memerlukan smartphone berkamera oke dan berkapasitas besar, hehehe.

Styling? Sudah lebih mendingan sih, dengan bantuan prop yang sudah semakin menumpuk dan tentu hasrat menumpuk prop yang belum padam, alias masih pengen ini itu. Hehehe. Saya pikir, inilah efek sampingnya belajar motret, memiliki hasrat luar biasa buat ‘mengumpulkan’ apa saja yang bisa dipakai sebagai prop.

Ilmu photography? Masih cetek. Hasil belajar dari ikutan workshop-workshop sebelumnya. Yang kadang-kadang terpakai, tapi lebih banyakan khilafnya. Atau ‘nggak ngeh’ kalau ada aturan ini dan itu, ada rules yang nggak sengaja dilanggar karenga nggak ‘sadar’ kalau ada aturannya, tapi yang lebih sering adalah tentang istilah, istilah photography maksudnya. Istilahnya atau definisinya aja kadang nggak paham, bahkan mendengar aja belum tentu pernah, jadi yaaa gitu deh... Asal menurut saya oke aja, selesai. Hahaha.

Nah, biar saya nggak semakin tersesat semakin dalam, saya rajin banget ikutan workshop dan challenge, biar semakin mahir dan fasih dengan segala rules dan aturan-aturan photography. So, workshop mana lagi yang akan jadi sasaran saya? Ada. Dan Alhamdulillah-nya saya sudah pernah ketemu dengan narasumbernya. Siapa? Mb Ika Rahma, si pemilik account ig Dapur Hangus. Kalau baca perjalanan workshop yang saya ikuti, pasti tahu deh yang mana. Kalau belum, boleh sok dibaca dulu #EmpoweringMAMAbersama Emeno Nursing Wear *maksa ini harus!!!

Workshop yang saya ikuti ini adalah workshop yang diadakan dalam rangka Ulang Tahun Dapur Hangus yang ke-5. Account Dapur Hangus di Facebook sudah berusia 5 tahun per tanggal 15 Maret kemarin. Nah, menurut cerita dari si empunya, Mb Ika Rahma, Dapur Hangus berawal dari kenekatannya membuat blog masakan. Mengapa dinamakan Dapur Hangus? Karena beliau bukan chef, koki atau pun tukang masak. Beliau yang ngakunya nggak suka dan nggak bisa masak ini nekat bikin blog masakan. Menurutnya, karena beliau nggak bisa masak, setidaknya, beliau bisa mempertahankan pembaca blognya kalau memiliki foto yang keren. Selain itu, kenekatannya juga didasari atas kebutuhan memasak untuk putri pertamanya yang saat itu akan memasuki tahap MPASI, jadi mau nggak mau, beliau pun belajar memasak.

Begitulah, tujuan awal dibuatnya Dapur Hangus yang sekarang sudah melebarkan sayapnya sebagai endorser, food photographer dan narasumber food photography melalui berbagai workshop. Nah, seperti Dapur Hangus yang memiliki tujuan awal yang unik, menurut Mb Ika Rahma, setiap hal yang kita lakukan pasti memiliki tujuan, begitu juga dengan memotret. Harapannya dengan adanya tujuan yang jelas, maka memotret pun akan menjadi lebih terarah. Ada banyak sekali tujuan memotret, diantaranya untuk tujuan promosi produk makanan buatan kita sendiri, review, pembuatan buku menu, pembuatan katalog jualan, pembuatan banner, untuk update socmed, sebagai portofolio personal, bahan pembelajaran, dll. Diantara sekian banyaknya tujuan memotret, pastikan untuk menentukan tujuan memotret terlebih dahulu sehingga gambar yang dihasilkan akan lebih bermakna.

Sebagai pengguna smartphone untuk fotografi, Mb Ika Rahma menyarankan untuk mulai memperhatikan adanya distorsi pada hasil foto kita. Apa itu? Distorsi adalah penyimpangan lensa yang biasa terjadi pada kamera smartphone, sehingga akan terjadi selisih ukuran benda pada foto dengan ukuran aktualnya. Benda pada foto yang dihasilkan melalui kamera smartphone akan mengalami penyusutan ukuran, menjadi lebih kecil dari ukuran sebenarnya. Sehingga perlu memperlebar jarak saat memotret untuk mengurangi timbulnya distorsi. Jadi, kita perlu memotret dari jarak yang agak jauh, tidak terlalu dekat dengan benda. Distorsi ini terjadi secara umum ya, artinya semua hasil foto yang dihasilkan melalui kamera smartphone akan terkena efek ini. Smartphone jenis apapun. Bagi Mb Ika Rahma sendiri yang kebanyakan menggunakan kamera, beliau akan langsung tahu dan bisa membedakan, ada atau tidaknya efek distorsi yang ditimbulkan dari sebuah foto. Saya nih, baru ‘ngeh’ kalau ada hal semacam ini, langsung atur jarak! Siap graaak!!!

Contoh Distorsi: chococips dalam wadah kuning di foto kiri

Menurut Mb Ika Rahma, Lighting untuk Food Photography sedikit berbeda dengan fotografi model. Food photography menggunakan sumber cahaya dari belakang dan dari samping saja. Jika sumber cahaya berasal dari depan, maka makanan akan terlihat flat dan tidak berdimensi. Cahaya dari depan juga dapat menghilangkan tekstur makanan, padahal justru teksturlah yang ingin dimunculkan agar makanan terlihat lezat dan menggiurkan.

Tips lain tentang lighting adalah jangan lupa mematikan flash, baik ketika memotret dengan menggunakan smartphone ataupun kamera. Jika terpaksa atau diharuskan memotret saat malam hari, usahakan untuk mematikan lampu ruangan, karena pantulan lampu ke tembok akan mengganggu hasil foto kita. Nah, sebagai pengganti lampu ruangan, gunakan sumber cahaya dari lampu belajar, lampu emergency atau lampu senter smartphone. Usahakan lampu yang digunakan adalah lampu LED putih 4 Watt jika menggunakan lampu belajar.

Yang nggak kalah penting adalah jangan pernah menghilangkan bayangan benda yang akan difoto. Semua benda yang difoto harus ada bayangannya, walaupun tipis atau samar, tetapi harus tetap ada, agar benda terlihat lebih aktual atau nyata. Bayangan benda akan membantu mempertegas Point of Interest dari foto yang dihasilkan. Masak iya makanan nggak ada bayangannya?

Yuukk, lanjuutt...

Ternyata, pemilihan background itu nggak kalah penting juga lho... Pemilihan warna background bisa tetap ataupun berubah-ubah, tergantung dari tujuan dan tema foto yang ingin dihasilkan. Background tetap ternyata bisa memberikan arti untuk branding identitas. Jadi, bisa langsung ketahuan tanpa harus melihat credit tittle. Mostly, saya menggunakan background warna papan rustic hitam, karena saya merasa lebih bisa menguasai editing dan styling dengan background hitam. Sementara masih menghindari background warna terang karena merasa nggak PD, rasanya hasil foto saya jadi kurang fotogenik kalau memakai background putih.

Untuk angle atau sudut pengambilan gambar sudah sering saya bahas di postingan-postingan workshop yang saya ikuti sebelumnya. Biar tambah nempel merekat kuat di ingatan, yuk diomongin lagi...

Eye Level adalah sudut pengambilan gambar ketika kamera dan benda berada dalam garis sejajar. Angle ini digunakan apabila kita ingin mengekspos tinggi makanan yang kita foto. Misalnya, cake bertumpuk, segelas besar Milo Dinosaurus atau souffle yang mengembang tinggi.

Above Eye Level (30’-40’) adalah sudut pengambilan gambar sedikit lebih tinggi dan lebih miring dari Eye Level sebesar 30’-40’. Angle foto ini cocok untuk hampir semua jenis makanan. Bila makanan diletakkan di piring, volumenya akan bisa terkekspos maksimal. Dengan menggunakan angle ini, memotret latte art pada kopi dapat memungkinkan kita untuk mengekspos dua hal, yaitu keindahan latte art dan sekaligus meng-capture seberapa besar mug yang digunakan.

Bird Eye View adalah sudut pengambilan gambar dari atas dengan kamera mengadap ke bawah. Angle Bird Eye View inilah yang melahirkan tren foto flatlay, yang mengatur berbagai macam properti foto di permukaan atau bidang datar, lalu memotretnya dari atas. Makanan yang cocok untuk angle ini misalnya adalah Pizza, topping yang beragam, irisannya yang membentuk segitiga dan keju mozzarellanya yang mulur-mulur membuat Pizza dapat terekspos secara maksimal. Contoh lain yang cocok untuk penggunakan angle ini adalah cup cake dengan hiasan fondant dua dimensi atau pie yang dipotong pun cocok untuk difoto dengan angle ini.

Below Eye Level (Angle Mata Kodok) adalah sudut pengambilan gambar dengan posisi kamera agak ke bawah benda sehingga foto yang dihasilkan akan tampak lebih tinggi, atau menimbulkan kesan tinggi. Misalnya adalah minuman dalam gelas sehingga akan terekspos gelas yang terlihat atau terkesan lebih tinggi.
Saya suka yang mana? Bird Eye View (BEV) dong... Rasa-rasanya lebih kelihatan unik aja. Saya pun bercita-cita untuk belajar Messy Food Photography, meski berantakan tapi tetap fotogenik. Motretnya sih seneng, beresinnya yang senep. Gara-gara saking berantakannya. Hehehe.

Bagaimana? Semoga dapet ilmu baru yaa...

Maunya sih dilanjut terus, karena materinya masih lumayan panjang. Tapi, takutnya malah jadi super panjang, kan nggak enak juga sayanya kalau nanti saya dapet penghargaan pembuat blogpost terpanjang, hehehe. Jadi, napas dulu aje kali yee... Biar nggak begah...

Oke, oke, semoga bermanfaat ^^

Mb Ika Rahma, the woman behind @dapurhangus

Stand Bazar Dapur Hangus yg bikin nggak konsen nyimak materi :D




Salam,



Lisa.